BERPETUALANG di alam bebas selalu memberikan kesenangan tersendiri bagi siapa saja yang ingin melakukannya. Kesenangan tersebut didapat dari keindahan pemandangan dan tantangan yang berhasil kita lewati pada setiap medan petualangan tersebut. Beberapa waktu yang lalu penulis kembali membuktikan dengan merasakan serunya melintasi medan petualangan perut bumi di Sisawah, kabupaten Sawahlunto Sijunjung, Sumatera Barat. Petualangan di kedalaman perut bumi ini ternyata belum terlalu memasyarakat. Ini dibuktikan dengan minimnya pengetahuan masyarakat tentang kegiatan penelusuran gua ini.
Di daerah Sisawah ini terdapat banyak sekali gua. Ada yang vertikal dan horizontal. Kebanyakan dari gua ini masih terjaga dengan baik. ini terlihat ketika penulis melakukan penelusuran di sana. Pada gua yang sering di datangi banyak orang, biasnya terdapat banyak sampah dan coretan dinding. Sangat berbeda dengan keadaan goa di Sisawah ini. Bahkan ketika penulis mendatangi gua kompe dan sungai lantuang, agak kesulitan mencari pintu masuknya (entrance). Hal ini dikarenakan oleh banyaknya semak belukar yang menutupi kawasan di sekitar mulut gua ini. Menandakan jarang sekali orang mendatangi gua ini. Daerah Sisawah ini ternyata dikelilingi oleh perbukitan karst. Nampak dari kejauhan bukit bukit kapur berwarna putih menyembul berkilat ketika disinari cahaya matahari. Di sekelilingnya dihiasi oleh areal persawahan para petani yang membentang luas.
Pemandangan yang begitu bagusnya menayambut kedatangan penulis beserta rombongan Anggota Muda, dari Mapala Unand. Kami datang ke sini dalam tahapan proses keanggotan anggota muda, yaitu pemantapan Divisi penelusuran gua (caving). Ternyata semua peserta yang mengikuti kegiatan ini terkagum gembira, pemantapan kali ini terasa lebih menyenangkan. Pemandangan alamnya, seperti perbukitan perbukitan di negri Cina yang mungkin sering kita lihat dalam buku - buku dan film silat dari negara tersebut. Terasa seperti di negri dongeng, komentar Joli, salah seorang Anggota Muda.
Penelusuran pertama kami lakukan pada gua Antabuang. Gua horizontal ini termasuk gua basah. Di dalamnya mengalir sebuah sungai kecil, dan bermuara di areal persawahan petani. Secara tidak langsung gua ini telah menjadi cadangan air bagi masyarakat disekitanya, terutama untuk pengairan padi di sawah. Jumlah rombongan waktu itu, sebanyak 20 orang. Terdiri dari tiga orang anggota penuh, termasuk penulis sendiri. Anggota Penuh selama kegiatan berlangsung, bertindak sebagai pengiring dan pemateri untuk Anggota Muda. Sebanyak 17 orang lagi, adalah anggota muda, yang terdiri dari 8 orang Laki - laki dan 9 orang Wanita. Karena jumlah terlalu banyak, kemudian rombongan di pecah menjadi dua tim. Tim pertama, bergerak melakukan penelusuran hingga mencapai top. Tim kedua menunggu giliran disekitar pintu gua, sekaligus mempraktekan pemetaan gua dan pengenalan keanekaragaman ekosisten yang ada di dalamnya.
Hampir seluruh peserta penelusuran waktu itu berdecak kagum melihat keindahan ornamen (hiasan) yang tersaji disepanjang lintasan gua ini. Tidak mengherankan memang, karena gua ini temasuk gua basah, dengan air yang mengalir di dalamnya. Kita tahu juga bahwa rembesan air yang mengalir tersebut, melakukan pengikisan dan akhirnya membentuk bermacam - macam jenis ornamen. Beberapa ornamen yang paling sering ditemukan antara lain, berbentuk Sawahan (rimstonempol), Tirai (gordam), Tiang (pilars) serta ratusan Stalaktit dan Stalakmit.
Dengan banyaknya ornamen yang ditemukan selama penelusuran, membuat waktu 100 menit yang terpakai untuk mencapai ujung dari gua ini, terasa begitu cepat dan singkat. Tapi masing masing tim sadar, ini bukanlah gua pertama dan terakhir yang akan mereka tempuh. Masih banyak lagi gua yang harus kami datangi. Prioritas berikutnya adalah gua Kompe dan Sungai Lantuang. Tiga gua inilah yang menjadi target kami, selama berada di Sisawah ini. Di daerah yang ternyata menyimpan banyak sekali lorong - lorong di perut buminya.
Gua selanjutnya yang kami kunjungi bernama, Kompe dan Sungai Lantuang. Kedua gua ini berjarak ± 1 km dari gua pertama, Antabuang. Sebelum melakukan penelusuran, terlebih dahulu kami mempersiapkan perlengkapan SRT (single rope tekhnic). Dengan kondisi gua yang vertikal ini, para Anggota Muda juga diberikan pengenalan sekaligus simulasi penggunaan perlengkapan SRT.
Pada kedua gua vertikal ini, Gua Kompe mendapat giliran pertama kami kunjungi. Pintu guanya terletak dilereng sebuah pebukitan. Untuk mencapainya dibutuhkan waktu ± 15 menit dari kaki bukit. Karena memang jarang dikunjungi, jalan menuju gua ini harus kita buat sendiri dengan merambah semak belukar yang banyak tumbuh di perbukitan ini. Setelah mencapai mulut gua, perjalanan dilanjutkan dengan menuruni gua tersebut. Perjalanan turun cukup menegangkan juga karena berketinggian ± 12 meter. Di bawahnya ditemukan sebuah ruangan yang sangat besar dan luas. Ketinggian langit - langit dari lantai gua ini mencapai ± 30 meter. Di atasnya bergelantungan dengan sangat indah puluhan stalaktit yang sudah mengering, sehingga kita yang sedang beristirahat di bawahnya tidak lagi dibasahi oleh rembesan air dari atap gua tersebut.
Setelah istirahat sejenak, dari ruangan besar tersebut, tim kembali bergerak turun. Perjalanan kali ini terasa lebih mendebarkan, karena sudah berada pada ruang gelap gulita. Pemasangan perlengkapan SRT dilakukan secara teliti disinari cahaya Headlam dari para peserta. Medan yang harus dilewati sepanjang ± 15 meter. Batu batuan gua yang banyak menyembul sepanjang dinding vertikal ini ternyata sangat rapuh. Beberapa kali bebatuan tersebut berguguran ketika tersentuh oleh anggota tim. Alhamdulillah, Dengan pergerakan cukup lambat dan hati hati, tantangan ini berhasil kami lewati.
Setelah itu kami sampai pada ruangan yang cukup besar dan terdapat aliran air didalalamnya. Aliran air ini keluar pada sebuah lorong sempit yang tidak bisa kami ikuti. Dari aliran air tersebut banyak terbentuk ornamen gua berbentuk kolam kolam kecil. Konon, air dari dalam gua ini juga menjadi sumber pengairan utama areal persawahan petani di sekitarnya. Setelah tiba disini, perjalanan pada gua Kompe berakhir. Pada bagian ujung gua ini, banyak sekali ornamen yang kami temui. Diantaranya gordam yang terus menerus dialiri air menghiasi ssebagian besar dindingnya. Keluar dari dalam gua, hari sudah sore. Kami memutuskan untuk kembali ke base camp yang tidak jauh dari lokasi gua ini. Base camp yang kami tempati merupakan sebuah rumah penduduk. rumah ini terletak agak terpisah dengan rumah penduduk lainnya. Berada di kaki perbukitan gua Kompe. salah seorang anak penghuni rumah, Deri, kebetulan berusia 21 tahun yang berarti sebaya dengan kami, sehingga suasana akrab lebih cepat terjalin. Deri juga banyak memberikan informasi tentang keberadaan gua gua di daerahnya ini.
Hari berikutnya, kami melakukan persiapan penelusuran terakhir. Tujuan kali ini adalah gua sungai lantuang. Dari base camp kami harus berjalan sejauh ± 1 km. Perjalanan pada pagi hari yang cerah terasa sangat menyenangkan. Melintasi sawah para petani dan sebuah sungai berair jernih menambah indahnya suasana perjalanan kami. Tidak jauh berbeda dengan gua Kompe, gua Sungai Lantuang ini juga berada pada lereng sebuah perbukitan. Karena rimbunnya pohon di perbukitan ini, seluruh anggota tim harus menghabiskan waktu ± 1 jam, untuk menemukan mulut guanya. Sesampinya di gua, tim kembali mempersiapkan perlengkapan SRT. Perjalanan turun pada gua ini tidak terlalu mengkhawatirkan. Hal ini disebabkan oleh lokasinya yang berada tidak jauh dari mulut gua, sehingga cahaya matahari masih menerangi ruang didalamnya. Gua ini tidak terlalu panjang, setelah menuruni tebing setinggi ± 8 meter, kami langsung menemui sebuah ruangan yang tidak begitu luas. Pada bagian pinggir, dari dinding gua ini, mengalir sebuah sungai kecil. Salah seorang diantara kami, menyinari sungai kecil tersebut. Tampak beberapa ikan kecil bergerak gerak lincah menjauhi cahaya senter kami. Semua anggota tim tampak merasa puas. Bisa kami simpulkan, gua yang berhasil kami temui di daerah ini masih terjaga habitat dan ekosistem di dalamnya. Sebelum bergerak keluar, sang fotografer kami, Arie, tidak lupa mendokumentasikan seluruh keindahan gua Sungai Lantuang ini. Begitu pula dengan gua - gua sebelumnya yang telah kami telusuri. Sebelum senja menghampiri, kami bergerak menuju base camp.
Perjalanan yang dilakukan pada gua - gua ini ternyata memberi kenagan yang tak mungkin terlupakan. Keindahan yang di temukan setiap penelusuran dilakukan, telah mengingatkan kita tentang besarnya kuasa sang pencipta. Dapat kita bayangkan bahwa gua dan seluruh ornamen di dalamnya, tercipta dalam rentang waktu yang sangat panjang dan alami, tanpa campur tangan manusia. jika semuanya itu tidak berhasil kita jaga, tentu tantangan yang berhasil kami temui sekarang ini, akan tinggal cerita, pengantar tidur bagi anak cucu kita kelak.
Setelah selesai makan malam, kami melakukan briefing singkat, disaksikan oleh pemilik rumah. Malam ini terasa lebih menyenangkan. Target berhasil kami capai, esok harinya, kami akan kembali pulang ke Padang. Membawa segudang pengalaman yang sangat seru untuk diceritakan pada seluruh kawan - kawan yang sudah menunggu di kantor Mapala Unand. (Heru Dahnur/ MU 173 Srk.)
by mapalaunand.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar